PUASA DAN DINAMIKA BANGSA*)
Oleh:Sunardi**)
Manusia, kata Quran, menuju proses kesempurnaan dalam kehidupannya (latarkabunna thabaqon ‘an thobaq) (QS. Al-Insyiqaq: 19)
Namun menurut Ali Syari’ati ada empat penjara yang menghalangi manusia ke arah gerak dinamis menuju tahap kesempurnaan. Keempat penjara tersebut, adalah ; alam, sejarah, masyarakat, dan ego. Hukum alam yang dipahami secara determinisme-mekanistik dapat menjadi penghambat bagi manusia dalam tahapan evolusinya. Karena ketidakmampuan manusia “menundukkan” alam mengakibatkan kehidupan manusia menjadi tidak efektif dan efisien. Sejarah yang merupakan peristiwa masa lalu dapat menjebak manusia pada hukum-hukum determinisnya. Hasil-hasil dari peristiwa sejarah masa lampau yang dirasakan oleh manusia hari ini bisa membuat manusia dapat terjebak pada determinisme historis yang mengakibatkan manusia bersikap pasif dan kehilangan misi futuristiknya. Hukum dan kultur yang ada dalam lingkungan masyarakat pun bisa menghambat kreasi dan inovasi manusia dalam beraktualisasi diri untuk “menemukan” kesejatian dirinya. Sedangkan ego, sebagaimana dalam tinjaun kaum psikoanalisis atau kaum hedonis akan membuat manusia senantiasa memperturutkan hasrat instingtifnya dan melupakan realitas ruhani yang merupakan realitas sublim bagi manusia.
Empat penjara manusia, sebagaimana yang dibahasakan oleh Ali Syari’ati tersebut bukanlah hal yang determinan bagi manusia. Manusia masih memiliki kesempatan untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman empat penjara tersebut selama ia mampu mengabdikan gerakannya dalam evolusi menuju “peninggian” ruhaninya. Dengan melakukan hal tersebut, manusia bisa mengubah dirinya dari makhluk biasa (being) menjadi makhluk sempurna (becoming).
Syari’ati menjelaskan bahwa becoming adalah bergerak, maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, tidak pernah terhambat dan terhenti, serta terus menerus bergerak menuju ke arah kesempurnaan. Evolusi ini adalah evolusi tanpa henti dari manusia yang serba terbatas ke arah realitas yang tanpa batas, bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, atau ke arah kesempurnan yang ideal. (Sabara Nuruddin: 4 penjara menurut Ali Syariati)
Kita perlu ‘keluar’ dari penjara kita: alam, sejarah, masyarakat dan ego (nafsu).
Alam yang kering, tandus, penuh dengan penebangan liar (illegal logging), illegal fishing, dapat dilakukan secara personal upaya pelestarian, penanaman kembali, upaya penegakkan hukum terhadap oknum-oknum pelanggar hukum tanpa tebang pilih dan tindakan sadar lain sedemikian sehingga dapat mengurangi global warming (pemanasan global) karena rusaknya lingkungan bumi kita. Alam yang tandus, kering, tak hujan dapat dilakukan dengan poses taubat, kembali kepada tindakan-tindakan bermanfaat dan bertujuan meningkatkan kualitas diri. Juga tindakan konkret lain menempuh cara tradisional yakni salat meminta hujan atau pun cara yang tak murah: mendatangkan ‘hujan buatan’ dengan upaya menggali dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Puasa menyadarkan kembali kepada kemanusiaan kita. Realitas dan praktek hukum kita yang bisa dibeli dan hanya memenangkan yang berduit sebagai kolusi yang sistemik perlu diakhiri. Quran mengingatkan,”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188). Ayat ini berangkai dengan perintah berpuasa pada ayat 183 itu.
Makna puasa kita berhasil jika realitas hukum nasional kita mengarah kepada keadilan untuk semua, bukan milik orang per orang apalagi golongan. Namun mengabdi kepada kepentingan yang lebih luas: bangsa dan negara.
Budaya korupsi yang hanya menguntungkan perorangan dan golongan sebagai tindakan eksploitasi lahir karena kita tak berpuasa dari sikap serakah kita.
Ibnu Arabi menyatakan bahwa esensi puasa adalah tark al-amal (meninggalkan perbuatan), meninggalkan dusta, khianat, dengki, serakah, kekerasan dan perbuatan lain yang tak normatif. Ibadah puasa memiliki posisi yang unik dan nilai lebih yang tak ada bandingnya dengan ibadah lain (laa mitsla lah).
Membiasakan yang benar dalam banyak hal dan bukan membenarkan yang biasa, kata Steven Covey, hemat penulis, berarti kita berusaha keluar dari penjara: masyarakat kita yang korup dalam semua level.
Pada akhirnya kita pun perlu keluar dari penjara sejarah masa lalu dan masa kini yang kelam dari bangsa ini. Bangsa kita dulu yang pernah berjaya dalam wujud kerajaan-kerajaan tanah air dari yang kecil hingga yang luas dan besar seperti Majapahit yang luasnya melampaui NKRI yang tak lepas dari persaingan kekuasaan, perebutan tahta kerajaan yang kini tinggal nama itu bukan tidak mustahil menimpa bangsa ini. Fenomena Timur Leste, pulau Ambalat yang lepas mesti menjadi pelajaran berharga pentingnya menjaga kewibawaan bangsa dengan prestasi dan ilmu pengetahuan serta sikap mental yang cinta tanah air.
Rapuhnya nilai-nilai dan sendi-sendi ideologi bangsa bukan mustahil mengikis semangat kebangsaan kita dan punahnya bangsa ini dari muka bumi sebagaimana misalnya Sovyet yang telah bubar dan berganti menjadi negara-negara baru meski dengan penyebab berbeda. Pancasila yang terdiri dari lima dasar/sila sementara Islam (serba sila) seperti kata M. Natsir, Perdana Menteri pertama RI mesti menjiwai dan melandasi/menginspirasi bangsa ini dalam semangat kemajemukan, 2 hal yang tak perlu dipertentangkan. Bahkan Islam perlu mengisinya.
Nilai-nilai puasa yang memiliki spektrum di antaranya kejujuran, keadilan mesti menghiasi bangsa ini yang sudah sulit kita jumpai pada anak bangsa dan penyelenggara negara ini. Kasus contek massal, PPDB yang penuh kolusi sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan pendidikan yang diserahkan pada daerah masing-masing sehingga munculnya raja-raja kecil perlu dipertimbangkan untuk dikelola kembali oleh pusat sebagaimana dulu, seperti direkomendasikan oleh Edi Parmadi, Ketua PGRI Jawa Barat misalnya, hal yang perlu dipertimbangkan agar pengelolaan pendidikan lebih baik dan dinamis.
Bangsa Amerika, atau negara-negara sekuler lain boleh jadi mereka prototype negara-negara maju sebagai baldah thoyyibah tetapi belum tentu wa robbun ghofur (dalam ampunan Tuhan). Puasa mesti menginspirasi kita bagaimana entitas bangsa ini menjadi baldah thoyyibah wa robbun ghofur. Wallahu a’lam.
Cirebon, 2 Agustus 2011
*) Tulisan ini pernah dimuat harian umum Kabar Cirebon edisi Jumat, 5 Agustus 2011/5 Ramadhan 1432 H
* *) penggiat Santun Institute dan staf pengajar SDN Sidamulya Kota Cirebon.

