Selasa, 23 Agustus 2011

PUASA DAN DINAMIKA BANGSA*)

Oleh:Sunardi**)

Manusia, kata Quran, menuju proses kesempurnaan dalam kehidupannya (latarkabunna thabaqon ‘an thobaq) (QS. Al-Insyiqaq: 19)

Namun menurut Ali Syari’ati ada empat penjara yang menghalangi manusia ke arah gerak dinamis menuju tahap kesempurnaan. Keempat penjara tersebut, adalah ; alam, sejarah, masyarakat, dan ego. Hukum alam yang dipahami secara determinisme-mekanistik dapat menjadi penghambat bagi manusia dalam tahapan evolusinya. Karena ketidakmampuan manusia “menundukkan” alam mengakibatkan kehidupan manusia menjadi tidak efektif dan efisien. Sejarah yang merupakan peristiwa masa lalu dapat menjebak manusia pada hukum-hukum determinisnya. Hasil-hasil dari peristiwa sejarah masa lampau yang dirasakan oleh manusia hari ini bisa membuat manusia dapat terjebak pada determinisme historis yang mengakibatkan manusia bersikap pasif dan kehilangan misi futuristiknya. Hukum dan kultur yang ada dalam lingkungan masyarakat pun bisa menghambat kreasi dan inovasi manusia dalam beraktualisasi diri untuk “menemukan” kesejatian dirinya. Sedangkan ego, sebagaimana dalam tinjaun kaum psikoanalisis atau kaum hedonis akan membuat manusia senantiasa memperturutkan hasrat instingtifnya dan melupakan realitas ruhani yang merupakan realitas sublim bagi manusia.

Empat penjara manusia, sebagaimana yang dibahasakan oleh Ali Syari’ati tersebut bukanlah hal yang determinan bagi manusia. Manusia masih memiliki kesempatan untuk membebaskan dirinya dari cengkeraman empat penjara tersebut selama ia mampu mengabdikan gerakannya dalam evolusi menuju “peninggian” ruhaninya. Dengan melakukan hal tersebut, manusia bisa mengubah dirinya dari makhluk biasa (being) menjadi makhluk sempurna (becoming).

Syari’ati menjelaskan bahwa becoming adalah bergerak, maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, tidak pernah terhambat dan terhenti, serta terus menerus bergerak menuju ke arah kesempurnaan. Evolusi ini adalah evolusi tanpa henti dari manusia yang serba terbatas ke arah realitas yang tanpa batas, bergeraknya manusia secara permanen ke arah Tuhan, atau ke arah kesempurnan yang ideal.
(Sabara Nuruddin: 4 penjara menurut Ali Syariati)

Kita perlu ‘keluar’ dari penjara kita: alam, sejarah, masyarakat dan ego (nafsu).

Alam yang kering, tandus, penuh dengan penebangan liar (illegal logging), illegal fishing, dapat dilakukan secara personal upaya pelestarian, penanaman kembali, upaya penegakkan hukum terhadap oknum-oknum pelanggar hukum tanpa tebang pilih dan tindakan sadar lain sedemikian sehingga dapat mengurangi global warming (pemanasan global) karena rusaknya lingkungan bumi kita. Alam yang tandus, kering, tak hujan dapat dilakukan dengan poses taubat, kembali kepada tindakan-tindakan bermanfaat dan bertujuan meningkatkan kualitas diri. Juga tindakan konkret lain menempuh cara tradisional yakni salat meminta hujan atau pun cara yang tak murah: mendatangkan ‘hujan buatan’ dengan upaya menggali dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Puasa menyadarkan kembali kepada kemanusiaan kita. Realitas dan praktek hukum kita yang bisa dibeli dan hanya memenangkan yang berduit sebagai kolusi yang sistemik perlu diakhiri. Quran mengingatkan,”Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188). Ayat ini berangkai dengan perintah berpuasa pada ayat 183 itu.

Makna puasa kita berhasil jika realitas hukum nasional kita mengarah kepada keadilan untuk semua, bukan milik orang per orang apalagi golongan. Namun mengabdi kepada kepentingan yang lebih luas: bangsa dan negara.

Budaya korupsi yang hanya menguntungkan perorangan dan golongan sebagai tindakan eksploitasi lahir karena kita tak berpuasa dari sikap serakah kita.

Ibnu Arabi menyatakan bahwa esensi puasa adalah tark al-amal (meninggalkan perbuatan), meninggalkan dusta, khianat, dengki, serakah, kekerasan dan perbuatan lain yang tak normatif. Ibadah puasa memiliki posisi yang unik dan nilai lebih yang tak ada bandingnya dengan ibadah lain (laa mitsla lah).

Membiasakan yang benar dalam banyak hal dan bukan membenarkan yang biasa, kata Steven Covey, hemat penulis, berarti kita berusaha keluar dari penjara: masyarakat kita yang korup dalam semua level.

Pada akhirnya kita pun perlu keluar dari penjara sejarah masa lalu dan masa kini yang kelam dari bangsa ini. Bangsa kita dulu yang pernah berjaya dalam wujud kerajaan-kerajaan tanah air dari yang kecil hingga yang luas dan besar seperti Majapahit yang luasnya melampaui NKRI yang tak lepas dari persaingan kekuasaan, perebutan tahta kerajaan yang kini tinggal nama itu bukan tidak mustahil menimpa bangsa ini. Fenomena Timur Leste, pulau Ambalat yang lepas mesti menjadi pelajaran berharga pentingnya menjaga kewibawaan bangsa dengan prestasi dan ilmu pengetahuan serta sikap mental yang cinta tanah air.

Rapuhnya nilai-nilai dan sendi-sendi ideologi bangsa bukan mustahil mengikis semangat kebangsaan kita dan punahnya bangsa ini dari muka bumi sebagaimana misalnya Sovyet yang telah bubar dan berganti menjadi negara-negara baru meski dengan penyebab berbeda. Pancasila yang terdiri dari lima dasar/sila sementara Islam (serba sila) seperti kata M. Natsir, Perdana Menteri pertama RI mesti menjiwai dan melandasi/menginspirasi bangsa ini dalam semangat kemajemukan, 2 hal yang tak perlu dipertentangkan. Bahkan Islam perlu mengisinya.

Nilai-nilai puasa yang memiliki spektrum di antaranya kejujuran, keadilan mesti menghiasi bangsa ini yang sudah sulit kita jumpai pada anak bangsa dan penyelenggara negara ini. Kasus contek massal, PPDB yang penuh kolusi sebagai konsekuensi dari penyelenggaraan pendidikan yang diserahkan pada daerah masing-masing sehingga munculnya raja-raja kecil perlu dipertimbangkan untuk dikelola kembali oleh pusat sebagaimana dulu, seperti direkomendasikan oleh Edi Parmadi, Ketua PGRI Jawa Barat misalnya, hal yang perlu dipertimbangkan agar pengelolaan pendidikan lebih baik dan dinamis.

Bangsa Amerika, atau negara-negara sekuler lain boleh jadi mereka prototype negara-negara maju sebagai baldah thoyyibah tetapi belum tentu wa robbun ghofur (dalam ampunan Tuhan). Puasa mesti menginspirasi kita bagaimana entitas bangsa ini menjadi baldah thoyyibah wa robbun ghofur. Wallahu a’lam.

Cirebon, 2 Agustus 2011

*) Tulisan ini pernah dimuat harian umum Kabar Cirebon edisi Jumat, 5 Agustus 2011/5 Ramadhan 1432 H

* *) penggiat Santun Institute dan staf pengajar SDN Sidamulya Kota Cirebon.

PUASA DAN PEMBEBASAN (LIBERASI): Sebuah Perjalanan

PUASA DAN PEMBEBASAN (LIBERASI):

Sebuah Perjalanan

Oleh : Sunardi*)

Islam dan Kebebasan (Liberal)

Puasa esensinya menahan diri, menahan dan menahan. Kendali adalah hakekat puasa.

Sementara Islam secara harfiyah artinya tunduk, patuh dan berserah diri. Terkesan beragam sebagai sesuatu yang tak merdeka atau bertentangan/paradok dengan kemerdekaan.

Di sisi lain manusia sejak dilahirkan dalam keadaan merdeka. Itulah sebabnya Umar bin Khattab,”Bagaimana mungkin engkau memperbudak manusia, sementara ia dilahirkan sebagai orang merdeka?” Karena itu berarti menzhalimi manusia.

Bagaiman mendudukkan persoalan ini?

Antara ketundukan dan kepatuhan dipertentangkan dengan kebebasan/kemerdekaan?

Adalah konsep cinta sebagai sikap keberagamaan yang paling mendekati atau sejalan dengan paradoks tadi.

Betapa tidak, dengan persoalan cinta, segalanya menjadi cair, hal yang jauh jadi dekat, hal yang keras menjadi lunak, hal yang sulit menjadi mudah.

Seseorang bebas mencari pendamping hidupnya, banyak gadis atau pria pilihan yang dipilih. Pilihan mengindikasikan kemajemukan. Tidak memilih ketika hanya ada satu.

Tetapi begitu pilihan ditentukan selanjutnya adalah soal konsekuensi atau komitmen batin. Dan iman adalah komitmen batin.

Perselingkuhan jelas menunjukkan kegagalan membangun komitmen bersama.

Kebebasan dalam tafsir Barat yang mengandaikan kebebasan yang tanpa batas, serba permisif (boleh) dan sebagainya, jelas bukan kebebasan yang sebenarnya/hakiki.

Kebebasan, dalam tafsir Islam, baru bermakna hakiki jika kita telah terbebas dari belenggu hawa nafsu.

Itulah yang telah difragmentasikan Nabi Yusuf as.

Bahwa ketika fasilitas dan kemewahan dunia ditawarkan kepadanya, seorang wanita bangsawan cantik yang menggodanya (baca: Zulaikha), kedudukan yang sangat terhormat dibalut kondisi yang sangat kondusif dengan perselingkuhan, ia yang sesungguhnya secara nafsani tertarik itu, namun kemudian ia berhasil keluar dari situasi untuk tidak mengikuti dorongan hawa nafsunya.

Inna al-nafsa la ammarotun bi al-suu’ (sesungguhnya nafsu itu mengajak seseorang untuk melakukan kejahatan/sikap lacur, kecuali nafsu yang telah dirahmati Allah/nafsu mutmainnah/jiwa yang telah tenang/tidak gelisah)

Kegelisahan dan kekhawatiran menunjukkan ketiadaan iman/komitmen batin kepada sang Pemilik cinta,Tuhan.

Seorang yang tidak pernah merasakan cinta kecil (sesama manusia) tak akan pernah bisa memahami cinta besar (cinta kepada Allah), demikian kata Jalaludin Rumi, seorang sufi.

Nabi saw pernah dikisahkan bahwa ketika bersama para sahabatnya, ia melihat seorang ibu dan anaknya yang sedang di depan tungku api dan beliau berkata,”Karena rahmat Allah, seorang ibu tidak sampai hati untuk memasukkan anaknya ke dalam tungku itu. Maka demikian pula akan halnya Allah, Dia jauh lebih tidak sampai hati memasukkan hamba-Nya ke neraka”.

Dalam sebuah hadits Qudsi, Allah menganalogikan diri-Nya sebagai seorang ibu

dan manusia sebagai anak-anaknya.

Anak-anak yang telah bergelimang kekotoran duniawi, konflik-konflik kemanusiaan, perlu dibersihkan dan disucikan.

Yauma laa yanfa’u maalun wa laa banuun, demikian firman Allah dinyatakan. Kelak kita perlu mempersiapkan diri kita pada hari di mana harta, anak-anak, dan kemewahan duniawi tidak bermakna apa-apa kecuali mereka yang datang dengan hati yang suci/bersih/selamat (qalbun salim).

Ketika melewati hari-hari puasa Ramadan, kita seakan-akan sedang melakukan proses pendakian spiritual. Sesuai sabda Nabi Muhammad, pada sepuluh hari pertama, kita dianjurkan menebar rahmat antarsesama manusia. Sepuluh hari kedua mengandaikan kelapangan dada untuk mampu memberi maaf pada sesama, bila terjadi kekeliruan dan konflik dalam relasi-relasi sosial. Dengan kesuksesan dalam menapaki dua tahapan itu, kita diandaikan akan mampu membebaskan diri dan hubungan sosial antarkita dari api kemarahan, permusuhan, kebencian, dan bunga api lainnya.(Marzuki Wahid: 2004)

Ibnu Arabi menyatakan bahwa esensi puasa adalah tark al-amal (meninggalkan perbuatan), meninggalkan dusta, khianat, dengki, serakah, kekerasan dan perbuatan lain yang tak normatif. Ibadah puasa memiliki posisi yang unik dan nilai lebih yang tak ada bandingnya dengan ibadah lain (laa mitsla lah).

Namun ada hal paradok pernah terjadi di Barat, sebagai negeri pemuja kebebasan itu.

Masyarakat pemuja kebebasan, serba permisif itu, namun ketika hendak memilih figur Presiden, mereka sangat menghendaki figur yang sangat steril dari perselingkuhan.

Gary Hart sebagai “the rising star”, runtuh karir politiknya ketika ia ketahuan berselingkuh dengan Dona Rice, seorang foto model.

Mereka berkilah, bagaimana ia akan kita percayai, sementara isterinya sendiri, ia khianati. Khianat paradoks dengan kepercayaan.

Dalam soal cinta tentu perlu kewaspadaan. Sebab dalam banyak hal kita memilih pakaia, istri, atau memutuskan sesuatu kerap kali didasari karena kita menyukainya. (cinta ketika kata kang Jalal, ibarat memakan sop yang hangat). Pertimbangan didasari karena soal suka atau tidak suka.

Demikian pula halnya, ketika kita diminta memilih mana yang akan kita pilih rasa lapar atau kenyang, kita memilih rasa kenyang. Lapar cenderung untuk kita hindari. Karena lapar merupakan penderitaan bagi badan ‘kasar’ kita.

Namun karena puasa/lapar yang bertujuan itu baik, maka diwajibkanlah manusia untuk berpuasa. Sesuai firman Tuhan,”Boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal sesuatu itu buruk bagimu. Boleh kamu membenci sesuatu, padahal sesuatu itu baik bagimu”.

Ketika kita berpuasa, tubuh kita mengalami detoksifikasi. Mengeluarkan racun-racun, bahan pengawet dari dalam tubuh kita.

Puasa penderitaan bagi badan, namun kebahagiaan bagi jiwa dan kecemerlangan bagi akal (wetenge ngelih, pikirane ngalih).

Orang lapar cenderung mudah marah. Namun jika lapar kita bertujuan/bertujuan, marah dapat kita kendalikan. Inilah efek dahsyat puasa.

Itulah sebabnya Nabi bersabda,”Siapa yang mengendalikan dirinya/

tidak marah di bulan Ramadhan, Allah akan menahan murka-Nya kelak di hari kiamat nanti”.

Jika Nabi saw pernah mengajak Bilal, “wahai Bilal, marilah kita bersenang-senang dengan, marilah kita bersenang-senang dengan salat (arihnaa bish-sholah, arihnaa bish-sholah)

Sebagai orang yang berpuasa, kita perlu memperbanyak dzikir. Dzikir ma’tsurat di antaranya tasbih, tahmid dan tahlil serta tagfir.

Tasbih/Maha Suci Allah itu jika dinsyafi secara mendalam berarti kita mesti berpikir positif kepada Allah /menghilangkan “negative thingking” (pikiran negatif) kepada Allah, karena Allah tidak mungkin berbuat keliru/menzhalimi kita. Berpikir positif melahirkan sikap optimis dalam hidup (=tahmid), karena Allah Maha Terpuji. Dan oleh karena kita hidup perlu optimis, dan Allah tempat harapan dan pujian, maka kita perlu bersungguh-sungguh dalam menuntaskan problem kehidupan dan kemanusiaan kita, karena itu semua adalah kecil. Hanya Allah Yang Maha Besar. Karenanya, kita seyogyanya selalu meminta ampunan kepada-Nya akan kehilafan kita dan perjalanan hidup yang tak pernah sempurna dan selalu terdapat cacat di sana-sini/kelemahan.

Dan pada akhirnya kembali kepada soal cinta, penulis bersimpatik kepada gerakan Islam yang sering menjadi sasaran kekerasan dari umat Islam lain, yang ternyata memiliki semboyan hidup yang menarik: Love For All, Hatred For None (Cinta untuk semua, tidak benci pada siapapun).

Dan Emha pun berseloroh, “Tak ada air kotor, yang ada adalah air dan kotoran”. Dan karena kita semua dalam perjalanan menuju Tuhan dan mencari kebenaran, kita perlu menghindarkan diri dari tafsir tunggal kebenaran.

“Saya sesat, MUI sesat, Depag sesat, kita semua sesat. Sesama sesat di larang saling saling menyesatkan”, seloroh Emha pula. An-Nas a’daau maa jahiluu (manusia itu musuh dari apa yang tidak diketahuinya, kata Ali bin Abi Thalib.

Mari kita berlomba-lomba dalam kebaikan dalam semangat toleransi terhadap perbedaan. Hidup dalam perdamaian dan perbedaan. Wallahu a’lam.

Cirebon, 13 Juli 2010

*) penulis penggiat Santun Institute dan staf pengajar SDN Sidamulya Kota Cirebon



Minggu, 13 Juni 2010

SYIAH DAN SUNNI: DIKOTOMI YANG TAK PERNAH BERAKHIR?

SYIAH DAN SUNNI: DIKOTOMI YANG TAK PERNAH BERAKHIR? Oleh : Sunardi*)

Sungguh sangat simpatik ajakan mantan Ketua PP Muhammadiyah, A. Syafi’i Ma’arif agar dikotomi/pembedaan Syi’ah-Sunni perlu diakhiri. Karena sekat-sekat yang membatasi ini hanyalah merugikan umat Islam. Betul, bahwa perbedaan itu sesuatu yang tak terelakkan. Tapi perbedaan yang ditonjolkan dan menjadi pembatas sehingga tak ada kerjasama dan koordinasi dalam menghadapi musuh bersama (common enemy) umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, hanyalah menjadikan umat ini sporadis, tak mau peduli dan menghargai keadaan masing-masing. DIKOTOMI Sunni-Syiah sepertinya sebuah produk sejarah yang hanya relevan/sesuai pada masa silam dan tak perlu berlanjut hingga hari ini. Namun mungkinkah umat Islam memiliki kesadaran sejarah bahwa sejarah perlu dibingkai dan dilokalisir dalam ruang dan waktu tertentu/terbatas dan tidak menjadikannya sebagai ‘perseteruan’ permanen, sebagai 2 wajah yang saling berhadapan?

Sufisme Titik Temu Antara Syiah dan Sunni

Spiritualisme ditengarai merupakan titik temu atau titik singgung antara kaum/mazhab ahlul-bait atau Syiah dengan kaum Sunni atau dikenal dengan sebutan ahlussunah waljamaah (yang di kalangan NU dikenal dengan akronim “aswaja”, yang oleh kalangan muda NU diplesetkan menjadi “asal wajar-wajar saja”. Meski klaim ahlusunnah tak hanya milik orang-orang NU) . Karena para guru tarekat dari kalangan sunni dan guru irfani dari kalangan Syi’i memiliki guru yang sama : Ja’far Shadiq Meski kerap sufisme dituding sebagai penyebab kemunduran Islam karena terkesan anti rasionalisme, namun dalam batas-batas tertentu sufisme dapat menjadi panacea atau obat mujarab problem-problem masyarakat modern yang ‘nota bene’nya memiliki ciri utama: ”kegersangan spiritual”. Namun sufisme atau tasawuf sendiri sesungguhnya memiliki 2 corak tasawuf: ‘akhlaki’ dan ‘falsafi’. Jika tasawuf yang berkembang di kalangan Sunni bersifat akhlaki, maka di Syiah bercorak falsafi atau memiliki nuansa falsafi. Dan para ulama di Syiah mesti memiliki penguasaan dan berbasiskan 3 ilmu utama: fiqih, tasawuf/irfani dan filsafat. Adalah Robert N Bellah, Sosiolog Barat yang memandang bahwa,”Rasionalisme Islam tidak memiliki masa depan. Jika Islam lebih berperan di tengah hingar-bingarnya globalisasi, itu dimungkinkan karena warisan spiritualisme Islam”. Karena atmosfir/corak “ghazalianian”/Imam Ghozali (tokoh spiritual) lebih mendominasi ketimbang corak “averous” (Ibnu Rusy/filosof) di dunia Islam.

Islam Banyak Firqah?

Nabi saw melansir, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Umat Kristiani 72 golongan dan umat Islam 73 golongan”. Dan Nabi saw sendiri ternyata lahir di lingkungan yang pluralis/majemuk. Keluarga besarnya tidak seluruhnya muslim. Beliau pernah punya menantu non-muslim, Abul ‘Ash yang menikah dengan Zainab, putri Nabi. Salah seorang mertuanya ada yang beragama Yahudi. Bahkan budak perempuan: Maria al-Qibtiyah menganut Kristen Koptik. Dari Maria ini Nabi punya anak laki-laki, Ibrahim. (Novriantoni: 2007) Namun dalam perjalanan sejarah, pasca Nabi wafat, nikah beda agama ini dilarang oleh Umar bin Khaththab, saat menjadi khalifah. Karena Umar khawatir, menikahi wanita ahli kitab menjadi ‘trend’ di kalangan pemuda muslim. Dan sejauh yang saya ketahui, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah pun memandang/berfatwa, soal nikah beda agama/menikahi wanita ahli kitab, meski dibenarkan secara teologis, namun secara siyasi/politis sangat diharapkan tidak dilakukan/terjadi. Dari fakta tersebut sedikit banyak menunjukkan bahwa semangat toleransi memiliki nuansa dan zamannya sendiri-sendiri. Bahkan lebih jauh, riwayat mengilustrasikan ketika sahabatnya yang mencaci maki dan bertikai dengan orang Yahudi, Nabi saw berusaha melerai keduanya dan berkata kepada sahabatnya itu,”Jangan kau lakukan itu. Karena tak ada kelebihan aku dengan Musa. Ketika seluruh dunia ini hancur, seluruh makhluk binasa dan kemudian Allah membangkitkan kembali (manusia), aku menyangka aku orang yang pertama kali dibangkitkan. Namun ketika aku bangkit melihat sekeliling, aku melihat Musa saudaraku berdiri di penghujung lain, sehingga aku menyangka dia lebih dulu dibangkitkan”.

Ukhuwah Yang Tercabik-cabik

Adalah (alm) M. Natsir yang pernah mengatakan bahwa ukhuwah umat Islam mirip orang-orang yang berkumpul dalam majlis judi. Mereka duduk bersama. Namun dengan hati masing-masing yang berbeda dan saling mengintip kesalahan orang lain untuk memenangkan ‘permainan’ kehidupan.

Ishlah, Doktrin Islam

Jika Allah berfirman: “Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah dua saudaramu (yang bertikai/berselisih), bertakwalah/takutlah kepada Allah niscaya kamu mendaapat rahmat” (QS.Al-Hujurat/49:10), maka ayat ini menjadi isyarat bahwa telah dan akan selalu terjadi perselisihan di kalangan orang beriman. Meskipun sudah sama-sama beriman, ada saja kemungkinan berselisih. Iman agaknya bukan satu-satunya garansi terciptanya perdamaian. Ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi kondisi damai. Bukankah Islam memiliki lembaran hitam tempo dulu, terjadinya peperangan antara Aisyiyah r.a. dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan perang jamal/unta misalnya, dan sebagainya. Meski Syafi’i Maarif menilai bahwa hal itu merupakan fenomena Arab dan bukan fenomena Islam. Namun terlepas dari perselisihan tersebut, tetap perlu diperjuangkan upaya penyelesaian damai antara pihak yang berseteru, berselisih dan berkonfrontasi. Janganlah perselisihan yang ada menjadi sesuatu yang bersifat permanen. Kenapa kita tidak belajar pada dunia anak-anak kita. Lihatlah pertengkaran yang terjadi di kalangan anak-anak. Mereka mudah bertengkar, tapi sekaligus pula mudah berdamai dan rukun kembali. Sementara di kalangan kaum tua sebaliknya: apabila bertengkar, sulit berdamai dan didamaikan. Perselisihan dapat dipicu karena faktor internal, namun tak jarang pula karena faktor eksternal. Yusuf Qardhawi dalam “fiqh al-ikhtilaf” melansir bahwa potensi konflik pada umat Islam secara internal terjadi karena adanya perbedaan permahaman terhadap tek-teks keagamaan. Ali bin Abi Thalib memandang al-Quran sendiri dalam dirinya mengandung “dzuu wujuuh” (multi interpretasi), memungkinkan untuk dipahami beragam/majemuk. Dalam wacana keagamaan, ada yang disebut dengan kebenaran ganda misalnya soal kebebasan manusia dan takdir. Aliran qadariyah berdasarkan pemahaman ayat-ayat tertentu mislanya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah apa yang ada diri mereka” (QS. Ar-Ra’du; 11), memahami betapa kebebasan manusia begitu berarti dan sangat menentukan kehidupan manusia dan takdir Tuhan. Sementara aliran yang bertolak belakang dengan Qadariyah, yakni Jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan Tuhanlah yang sangat menentukan kehidupan manusia. Pemahaman ini didasari oleh ayat misalnya,”Bukan kau yang melempar, saat kau melempar. Namun Allahlah yang melempar”. (QS : ) Dua aliran/pandangan yang berbeda memiliki dasar/pijakannya sendiri-sendiri. Menurut Afif Muhammad, inilah fungsi al-syifa/penawar atau obat dari al-Quran. Bagi yang memahami manusia memiliki kebebasan sepenuhnya dan mengagumi kemampuan dirinya agar tidak sombong/arogan, ‘dimunculkan’ ayat-ayat bernada jabbariyah. Dan sebaliknya aliran jababariyah yang memahami Tuhan sangat menentukan dalam kehidupan manusia, agar tidak terjangkit penyakit malas, ia perlu merenungi dan memahami ayat-ayat yang bernada Qadariyah atau ayat yang sejalan dengannya. Walhasil pemahaman keduanya perlu dikompromikan dan disinergikan bahwa manusia memiliki keinginan dan kebebasan, pada saat yang sama, Allah pun memiliki kehendaknya sendiri dan di luar jangkauan manusia. Dia menetapkan dan menghapus ketentuan dengan kehendaknya yang mutlak. YamhuLlah maa yasyaa wa yutsbitu. Begitu pula, dengan Syiah dan Sunni. Keduanya adalah bentukan sejarah dan perlu keduanya saling membuka diri dan menerima/memahami pandangan, sejarah, teologi yang dianut masing-masing, tanpa melebur keduanya dalam satu wadah/wajah. Wawasan non-sektarian perlu dimunculkan, agar persatuan umat terwujud. Prasangka, saling curiga, sikap apriori perlu dihabisi karena akan melemahkan potensi dan masa depan umat dan kemanusiaan. Rekonstruksi sejarah umat Islam yang lebih damai, santun dan memahami khazanah masing-masing perlu dilakukan dan diperjuangkan terus-menerus. Jika Samuel Huntington dengan tesisnya “clash civilization” (benturan peradaban) pasca perang Dingin, karena runtuhnya Dunia Timur/komunisme. Maka rival/musuh Barat berikutnya adalah Islam. Mashdar F. Mas’udi dalam orasinya di Prima Hotel beberapa bulan silam melansir, bahwa tatanan dunia Islam yang memiliki kemandirian, potensi raksasa, yang mampu menghadang laju peradaban barat adalah Syiah dan Ahmadiyah. Problemnya bagi umat Islam lain, kedua kelompok itu belum bisa diterima umat Islam lain. Padahal jika rekonstruksi tatanan dunia Islam dibangun tanpa prasangka dan menghargai keyakinan masing-masing, barangkali masa depan umat islam akan cerah dan berubah. Wallahu a’lam bish-shawab.

Cirebon, 27 Maret 2009 *) Staf Pengajar SDN Sidamulya/SMF Muhammadiyah Cirebon dan penggiat Santun Institute.

Tue, 19 Jan 2010 @21:35


Apa kabar?

Gmn? Sehat