SYIAH DAN SUNNI: DIKOTOMI YANG TAK PERNAH BERAKHIR? Oleh : Sunardi*)
Sungguh sangat simpatik ajakan mantan Ketua PP Muhammadiyah, A. Syafi’i Ma’arif agar dikotomi/pembedaan Syi’ah-Sunni perlu diakhiri. Karena sekat-sekat yang membatasi ini hanyalah merugikan umat Islam. Betul, bahwa perbedaan itu sesuatu yang tak terelakkan. Tapi perbedaan yang ditonjolkan dan menjadi pembatas sehingga tak ada kerjasama dan koordinasi dalam menghadapi musuh bersama (common enemy) umat Islam: kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan, hanyalah menjadikan umat ini sporadis, tak mau peduli dan menghargai keadaan masing-masing. DIKOTOMI Sunni-Syiah sepertinya sebuah produk sejarah yang hanya relevan/sesuai pada masa silam dan tak perlu berlanjut hingga hari ini. Namun mungkinkah umat Islam memiliki kesadaran sejarah bahwa sejarah perlu dibingkai dan dilokalisir dalam ruang dan waktu tertentu/terbatas dan tidak menjadikannya sebagai ‘perseteruan’ permanen, sebagai 2 wajah yang saling berhadapan?
Sufisme Titik Temu Antara Syiah dan Sunni
Spiritualisme ditengarai merupakan titik temu atau titik singgung antara kaum/mazhab ahlul-bait atau Syiah dengan kaum Sunni atau dikenal dengan sebutan ahlussunah waljamaah (yang di kalangan NU dikenal dengan akronim “aswaja”, yang oleh kalangan muda NU diplesetkan menjadi “asal wajar-wajar saja”. Meski klaim ahlusunnah tak hanya milik orang-orang NU) . Karena para guru tarekat dari kalangan sunni dan guru irfani dari kalangan Syi’i memiliki guru yang sama : Ja’far Shadiq Meski kerap sufisme dituding sebagai penyebab kemunduran Islam karena terkesan anti rasionalisme, namun dalam batas-batas tertentu sufisme dapat menjadi panacea atau obat mujarab problem-problem masyarakat modern yang ‘nota bene’nya memiliki ciri utama: ”kegersangan spiritual”. Namun sufisme atau tasawuf sendiri sesungguhnya memiliki 2 corak tasawuf: ‘akhlaki’ dan ‘falsafi’. Jika tasawuf yang berkembang di kalangan Sunni bersifat akhlaki, maka di Syiah bercorak falsafi atau memiliki nuansa falsafi. Dan para ulama di Syiah mesti memiliki penguasaan dan berbasiskan 3 ilmu utama: fiqih, tasawuf/irfani dan filsafat. Adalah Robert N Bellah, Sosiolog Barat yang memandang bahwa,”Rasionalisme Islam tidak memiliki masa depan. Jika Islam lebih berperan di tengah hingar-bingarnya globalisasi, itu dimungkinkan karena warisan spiritualisme Islam”. Karena atmosfir/corak “ghazalianian”/Imam Ghozali (tokoh spiritual) lebih mendominasi ketimbang corak “averous” (Ibnu Rusy/filosof) di dunia Islam.
Islam Banyak Firqah?
Nabi saw melansir, “Umat Yahudi terpecah menjadi 71 golongan, Umat Kristiani 72 golongan dan umat Islam 73 golongan”. Dan Nabi saw sendiri ternyata lahir di lingkungan yang pluralis/majemuk. Keluarga besarnya tidak seluruhnya muslim. Beliau pernah punya menantu non-muslim, Abul ‘Ash yang menikah dengan Zainab, putri Nabi. Salah seorang mertuanya ada yang beragama Yahudi. Bahkan budak perempuan: Maria al-Qibtiyah menganut Kristen Koptik. Dari Maria ini Nabi punya anak laki-laki, Ibrahim. (Novriantoni: 2007) Namun dalam perjalanan sejarah, pasca Nabi wafat, nikah beda agama ini dilarang oleh Umar bin Khaththab, saat menjadi khalifah. Karena Umar khawatir, menikahi wanita ahli kitab menjadi ‘trend’ di kalangan pemuda muslim. Dan sejauh yang saya ketahui, Majlis Tarjih PP Muhammadiyah pun memandang/berfatwa, soal nikah beda agama/menikahi wanita ahli kitab, meski dibenarkan secara teologis, namun secara siyasi/politis sangat diharapkan tidak dilakukan/terjadi. Dari fakta tersebut sedikit banyak menunjukkan bahwa semangat toleransi memiliki nuansa dan zamannya sendiri-sendiri. Bahkan lebih jauh, riwayat mengilustrasikan ketika sahabatnya yang mencaci maki dan bertikai dengan orang Yahudi, Nabi saw berusaha melerai keduanya dan berkata kepada sahabatnya itu,”Jangan kau lakukan itu. Karena tak ada kelebihan aku dengan Musa. Ketika seluruh dunia ini hancur, seluruh makhluk binasa dan kemudian Allah membangkitkan kembali (manusia), aku menyangka aku orang yang pertama kali dibangkitkan. Namun ketika aku bangkit melihat sekeliling, aku melihat Musa saudaraku berdiri di penghujung lain, sehingga aku menyangka dia lebih dulu dibangkitkan”.
Ukhuwah Yang Tercabik-cabik
Adalah (alm) M. Natsir yang pernah mengatakan bahwa ukhuwah umat Islam mirip orang-orang yang berkumpul dalam majlis judi. Mereka duduk bersama. Namun dengan hati masing-masing yang berbeda dan saling mengintip kesalahan orang lain untuk memenangkan ‘permainan’ kehidupan.
Ishlah, Doktrin Islam
Jika Allah berfirman: “Sesungguhnya orang beriman itu bersaudara, maka damaikanlah dua saudaramu (yang bertikai/berselisih), bertakwalah/takutlah kepada Allah niscaya kamu mendaapat rahmat” (QS.Al-Hujurat/49:10), maka ayat ini menjadi isyarat bahwa telah dan akan selalu terjadi perselisihan di kalangan orang beriman. Meskipun sudah sama-sama beriman, ada saja kemungkinan berselisih. Iman agaknya bukan satu-satunya garansi terciptanya perdamaian. Ada faktor-faktor lain yang juga turut mempengaruhi kondisi damai. Bukankah Islam memiliki lembaran hitam tempo dulu, terjadinya peperangan antara Aisyiyah r.a. dan Ali bin Abi Thalib yang dikenal dengan perang jamal/unta misalnya, dan sebagainya. Meski Syafi’i Maarif menilai bahwa hal itu merupakan fenomena Arab dan bukan fenomena Islam. Namun terlepas dari perselisihan tersebut, tetap perlu diperjuangkan upaya penyelesaian damai antara pihak yang berseteru, berselisih dan berkonfrontasi. Janganlah perselisihan yang ada menjadi sesuatu yang bersifat permanen. Kenapa kita tidak belajar pada dunia anak-anak kita. Lihatlah pertengkaran yang terjadi di kalangan anak-anak. Mereka mudah bertengkar, tapi sekaligus pula mudah berdamai dan rukun kembali. Sementara di kalangan kaum tua sebaliknya: apabila bertengkar, sulit berdamai dan didamaikan. Perselisihan dapat dipicu karena faktor internal, namun tak jarang pula karena faktor eksternal. Yusuf Qardhawi dalam “fiqh al-ikhtilaf” melansir bahwa potensi konflik pada umat Islam secara internal terjadi karena adanya perbedaan permahaman terhadap tek-teks keagamaan. Ali bin Abi Thalib memandang al-Quran sendiri dalam dirinya mengandung “dzuu wujuuh” (multi interpretasi), memungkinkan untuk dipahami beragam/majemuk. Dalam wacana keagamaan, ada yang disebut dengan kebenaran ganda misalnya soal kebebasan manusia dan takdir. Aliran qadariyah berdasarkan pemahaman ayat-ayat tertentu mislanya “Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga mereka merubah apa yang ada diri mereka” (QS. Ar-Ra’du; 11), memahami betapa kebebasan manusia begitu berarti dan sangat menentukan kehidupan manusia dan takdir Tuhan. Sementara aliran yang bertolak belakang dengan Qadariyah, yakni Jabariyah memandang bahwa manusia tidak memiliki kebebasan dan Tuhanlah yang sangat menentukan kehidupan manusia. Pemahaman ini didasari oleh ayat misalnya,”Bukan kau yang melempar, saat kau melempar. Namun Allahlah yang melempar”. (QS : ) Dua aliran/pandangan yang berbeda memiliki dasar/pijakannya sendiri-sendiri. Menurut Afif Muhammad, inilah fungsi al-syifa/penawar atau obat dari al-Quran. Bagi yang memahami manusia memiliki kebebasan sepenuhnya dan mengagumi kemampuan dirinya agar tidak sombong/arogan, ‘dimunculkan’ ayat-ayat bernada jabbariyah. Dan sebaliknya aliran jababariyah yang memahami Tuhan sangat menentukan dalam kehidupan manusia, agar tidak terjangkit penyakit malas, ia perlu merenungi dan memahami ayat-ayat yang bernada Qadariyah atau ayat yang sejalan dengannya. Walhasil pemahaman keduanya perlu dikompromikan dan disinergikan bahwa manusia memiliki keinginan dan kebebasan, pada saat yang sama, Allah pun memiliki kehendaknya sendiri dan di luar jangkauan manusia. Dia menetapkan dan menghapus ketentuan dengan kehendaknya yang mutlak. YamhuLlah maa yasyaa wa yutsbitu. Begitu pula, dengan Syiah dan Sunni. Keduanya adalah bentukan sejarah dan perlu keduanya saling membuka diri dan menerima/memahami pandangan, sejarah, teologi yang dianut masing-masing, tanpa melebur keduanya dalam satu wadah/wajah. Wawasan non-sektarian perlu dimunculkan, agar persatuan umat terwujud. Prasangka, saling curiga, sikap apriori perlu dihabisi karena akan melemahkan potensi dan masa depan umat dan kemanusiaan. Rekonstruksi sejarah umat Islam yang lebih damai, santun dan memahami khazanah masing-masing perlu dilakukan dan diperjuangkan terus-menerus. Jika Samuel Huntington dengan tesisnya “clash civilization” (benturan peradaban) pasca perang Dingin, karena runtuhnya Dunia Timur/komunisme. Maka rival/musuh Barat berikutnya adalah Islam. Mashdar F. Mas’udi dalam orasinya di Prima Hotel beberapa bulan silam melansir, bahwa tatanan dunia Islam yang memiliki kemandirian, potensi raksasa, yang mampu menghadang laju peradaban barat adalah Syiah dan Ahmadiyah. Problemnya bagi umat Islam lain, kedua kelompok itu belum bisa diterima umat Islam lain. Padahal jika rekonstruksi tatanan dunia Islam dibangun tanpa prasangka dan menghargai keyakinan masing-masing, barangkali masa depan umat islam akan cerah dan berubah. Wallahu a’lam bish-shawab.
Cirebon, 27 Maret 2009 *) Staf Pengajar SDN Sidamulya/SMF Muhammadiyah Cirebon dan penggiat Santun Institute.
Mampir ya
BalasHapus